Jakarta: Sebuah Cerita dari Seorang Perantau


Banyak orang bilang, "Jakarta lebih kejam daripada ibu tiri!" Percayakah anda? PERCAYALAH! Mengapa saya berkata demikian? Karena begitulah keadaanya! Mungkin, bagi penduduk asli Jakarta, mereka tidak berpikir demikian. Tetapi, sebagai seorang perantauan seperti saya, Jakarta merupakan sebuah kota yang kejam akan tetapi semuanya tertutup oleh kemegahan serta keindahan kota jakarta. Berikut ini adalah sebuah video karya Eugene Panji (Saya tidak kenal beliau, tetapi ijinkan saya share sebuah video buatan beliau untuk mendeskripsikan Jakarta) - Jakarta : Kota Kejam Kesayangan.


Yak seperti itulah Jakarta, sebuah kota kejam kesayangan yang saya rasakan. Masalah sederhana tapi yang paling perlu mendapatkan perhatian di Jakarta adalah kemacetannya. Setiap hari, anda harus terjebak dalam kemacetan selama ber jam-jam. Saya pun sempat berpikir, berapa banyak uang yang menguap begitu saja setiap harinya karena kemacetan yang ada di Jakarta. Walau ada banyak transportasi umum, tapi itu semua tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat Jakarta.

Setiap hari, pekerjaan saya adalah berkeliling Jakarta. Saya adalah seorang marketing salah satu perusahaan lampu yang cukup punya nama di Jakarta. Saya tidak memiliki kendaraan, dan saya biasa menggunakan transportasi umum ketika pulang kerja (berangkat kerja bersama saudara). Sebagai seorang marketing pada umumnya, anda setiap harinya bisa pergi ke berbagai macam tempat di seluruh Jakarta. Kadang saya ke Ancol, kadang saya ke Senayan, bahkan saya pernah ke Bekasi menggunakan sepeda motor bersama seorang rekan marketing mentor saya. Tujuannya hanya satu, menawarkan lampu serta housing-nya pada proyek pembangunan gedung-gedung yang ada di Jakarta. Kami sering presentasi (walau tidak setiap hari) sehingga saya harus selalu siaga untuk membawa laptop karena untuk memudahkan kami dalam menawarkan produk. Karena saya tidak memiliki kendaraan, saya membawa jas hujan di dalam tas serta berbagai macam keperluan di dalam tas. Selain itu, saya juga harus membawa helm saya karena saya pulang sendiri dan hanya dianterkan di halte busway terdekat dari tempat saya berada.

Saya bisa pulang sendiri, walau peta busway sedikit membingungkan, saya tidak pernah untuk malu bertanya tentang jalur-jalur yang harus saya lewati. Ketika saya masih berada di Surabaya, seberapa macetnya jalur Jl. Ahmad Yani yang biasa saya lalui menggunakan mobil mungkin saya hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan untuk sampai ke rumah. Akan tetapi, ketika saya di Jakarta, MINIMAL waktu tempuh perjalanan saya adalah 2 jam. Biasanya, setiap hari perjalanan pulang saya memerlukan waktu sekitar 2 jam lebih tergantung dari tempat saya berada saya serta jam waktu saya pulang. Jika saya sampai di halte busway sekitar pukul 3 sore, mungkin jam 5 saya sudah bisa berada di rumah. Akan tetapi, jika lebih dari jam 4 berada di halte busway, saya bisa sampai di rumah sekitar pukul stgh 7 hingga setengah 8. Percaya?

Antrian busway saat di Halte Sentral serta saat memasuki busway.
(Ya kira-kira seperti inilah keadaannya setiap harinya)

Sebenarnya, transportasi umum seperti busway di Jakarta sangatlah nyaman. Akan tetapi pada jam pulang kantor, ratusan busway pada puluhan rute yang melintas semuanya penuh! Jika tak kebagian tempat (seperti saya biasanya) kita harus berdiri sambil berdesak-desakan sepanjang perjalanan selama 2jam lebih tersebut. Saya harus membawa tas saya yang berisikan laptop serta membawa helm saya sambil saya harus berpegangan serta berdesak-desakan setiap harinya. Kadang saya sampai tidak kuat, tapi saya selalu berdoa untuk minta diberikan kekuatan agar bisa sampai rumah. Kadang kala, saat anda menunggu busway pada stasiun sentral anda berdesak-desakan juga. Menurut analisa saya, kemacetan Jakarta bukan karena semua orang menggunakan mobil pribadi saja, tetapi juga karena kurangnya transportasi umum seperti busway. Walaupun jumlah armadanya banyak, tapi busway masih selalu berdesak-desakan.


Sesudah naik busway, saya juga harus naik angkot untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Kalo angkot, biasa lah suka nge-tem nunggu penumpang sampai full angkotnya. Tapi walau kadang saya harus berdesak-desakan duduknya, tapi saya masih bersyukur karena saya bisa duduk di kursi setelah saya berdiri selama berjam-jam di busway. Naik angkot pun saya tidak turun di depan rumah. Tapi saya turun di depan kompleks perumahan. Saya masih harus melanjutkan perjalanan berjalan kaki yang kira-kira jaraknya gedung FA Ubaya sampai Lapangan Basket Ubaya. Sungguh, perjalanan pulang ke tempat tinggal saya di Jakarta sangat berat bagi saya seorang perantau ini jika dibandingkan sebelumnya saya di Surabaya menggunakan motor serta mobil pribadi.

Pembangunan di Jakarta tidaklah merata.
(Satu sisi dimana Jakarta sangatlah megah dan mewah dan sisi lain dimana Jakarta terlihat sangat kumuh dan tidak tertata dengan baik.)

Selain itu, lifestyle kehidupan serta pembangunan di Jakarta tidaklah merata. Di satu sisi, anda banyak melihat gedung-gedung bertingkat megah, tapi di sisi lain masih banyak perkampungan kumuh dengan sumber air yang full tergenang oleh sampah. Hantaran sungai di belakang kantor saya, isinya full oleh sampah. Airnya pun tidak dapat mengalir seolah-olah menunggu hujan datang untuk membawa kembali sampah itu keluar. Sungguh sesuatu hal yang sangat miris bagi ibukota seperti Jakarta.

Setiap siang, saya selalu menghemat uang dengan makan siang di warteg-warteg sekitar kantor. Atau jika misal saya bertemu klien di suatu mall, saya pasti mencari kantin pegawai yang ada. Karena lifestyle orang-orang Jakarta sangatlah tinggi. Stan-stan makanan diisi oleh makanan-makanan mewah yang sangat memberatkan untuk saya jika makan disana. Mungkin saya mampu makan disana, tapi saya juga tidak dapat makan siang selama seminggu nantinya. Kata sepupu saya, makanan termurah di mall yang ada di Jakarta adalah fastfood seperti kentaki, raja burger, dll. Saya coba melakukan observasi di Jakarta kadang ketika berjalan-jalan. Untuk pasangan yang pacaran, banyak sekali mereka yang makan di restaurant fastfood di Jakarta. Mungkin di Surabaya kita masih bisa pergi di tempat-tempat yang kesan nya 'lumayan' seperti yang ada di daerah timur Surabaya.

Selain itu, untuk pergi keluar ke sebuah tempat, anda harus memikirkan pula biaya parkir yang ada disini. Jika di Surabaya, anda marah-marah dengan tarif parkir seharga 5ribu, disini parkir mobil rata-rata sejam adalah 4ribu rupiah. Saya pernah datang untuk nonton saja harus bayar parkir 12ribu. Untuk motor, kira-kira rata-rata 2ribu per jam. Anda pun harus memperhitungkan waktu parkir serta biaya parkir anda. Sungguh sebagai perantauan, kadang ini lumayan memberatkan kami. Walau tarif parkir sudah mahal seperti itu, masih juga banyak sekali orang yang pergi ke mall-mall tersebut. Seperti sebuah mall di kawasan tempat tinggal saya, setiap malam minggu saya melihat sisa parkir pada jam 7 malam hanya 30 buah saja dari kapasitas tempat parkir sekitar 700buah mobil. Sungguh luar biasa bukan?

Akan tetapi sejujurnya, saya sedikit menikmati hal ini walau mungkin ini merupakan hal yang berat buat saya. Mungkin ya, saya bisa bercerita suatu saat nanti pada anak dan cucu tentang perjuangan memulai karier saya di Jakarta. Jakarta, kota kesayangan yang kejam dimana anda harus berpikir cermat tentang pengeluaran uang anda setiap harinya. Tapi disini, anda dilatih fisik dan mental anda untuk siap bersaing menghadapi semua hal.

Jika anda memulai karier anda dari bawah, pastilah ketika anda diatas kedepannya, anda bisa menghargai dan menjaga itu semua dengan sebaik-baiknya. Karena itu merupakan hasil dari perjuangan anda. "Always do your best. What you plant now will harvest later."

Mungkin kota ini kejam, tapi kota ini haruslah dapat ditaklukan suatu saat nanti.

Komentar

Postingan Populer